DPR Sampaikan Keterangan Terkait Permohonan Pengujian Materiil UU ITE di MK
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta saat memberikan keterangan pada sidang MK, Selasa (13/11/2024). Foto: Munchen/vel
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta menyampaikan keterangan DPR RI terkait pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam sidang yang digelar pada Selasa (13/11/2024) tersebut, setidaknya ada dua perkara yang dimohonkan pengujiannya, yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang menguji pasal 27A, pasal 45 ayat (4), pasal 28 ayat (2) dan pasal 45A ayat (2) UU ITE 2024, dan Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024, yang menguji pasal 310 ayat (3) KUHP, pasal 27 ayat (1), pasal 28 ayat (3), pasal 45 ayat (1), pasal 45 ayat (2), pasal 45 ayat (7) dan pasal 45A ayat (3) UU ITE 2024.
Wayan memaparkan pokok permohonan DPR RI, yang diantaranya adalah mengenai Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE 2024, DPR RI berpandangan bahwa frasa “melanggar kesusilaan” telah diatur dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU ITE 2024 sehingga tidak relevan untuk ditafsirkan ulang oleh Mahkamah. Selain itu, frasa tersebut juga telah selaras dengan ketentuan kesusilaan yang diatur dalam SKB UU ITE yang merujuk pada UU Pornografi dan KUHP. Sehingga, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Terkait Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE 2024, DPR RI berpandangan bahwa frasa “orang lain dalam rumusan a quo telah tepat karena perbuatan dilarang yang terdapat dalam rumusan a quo berlaku secara sama terhadap semua orang, tanpa perlu mencantumkan pengecualian. Selain itu, terkait frasa “suatu hal” yang dikehendaki Pemohon untuk diubah menjadi “dilakukannya suatu perbuatan” merupakan bentuk pengulangan penormaan yang tidak efektif dan tidak diperlukan. Karena makna “suatu hal”.
Terkait Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE 2024, DPR RI berpandangan bahwa frasa “tanpa hak” sangat diperlukan dalam rumusan norma a quo karena frasa tersebut diperlukan guna membuktikan adanya alas hak atau tidak untuk membenarkan suatu perbuatan yang dilakukan. Tanpa adanya frasa tersebut justru akan menimbulkan kerancuan dalam mengimplementasikannya khususnya dalam hal membuktikan tindak pidana pada norma a quo. Selain itu, dalam rumusan a quo mengatur delik formil dan materiil. Apabila Pemohon menghendaki perubahan rumusan sebagaimana petitum Pemohon, maka akan menyebabkan norma a quo menjadi delik formil.
Terkait Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE 2024, DPR RI berpandangan bahwa norma tersebut telah bersesuaian dengan kebutuhan hukum saat ini dan tidak ada relevansinya dengan pelanggaran hak atas pengakuan dan jaminan kepastian hukum maupun hak atas kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Ketentuan a quo juga merupakan delik formil dan materil yang pembuktiannya akan sangat bergantung pada seluruh proses pemeriksaan perkara.
Terkait Pasal 45 ayat (2) huruf a UU ITE 2024 dan Pasal 310 ayat (3) KUHP, DPR RI berpandangan bahwa dengan memperhatikan konstruksi Pasal dalam KUHP dan Penjelasan Pasal 45 ayat (7) huruf a UU ITE 2024, negara telah mengakomodir ketentuan yang mengecualikan pemidanaan dalam hal perbuatan dilarang yang “dilakukan untuk kepentingan umum”. Pengecualian tersebut justru merupakan norma yang memberikan solusi bagi warga negara yang hendak menyatakan pendapatnya, dalam bidang dan sektor apapun termasuk penyelenggaraan pemerintahan, sepanjang dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terkait Pasal 45 ayat (7) UU ITE 2024, DPR RI berpandangan bahwa pemaknaan sebagaimana petitum Pemohon adalah hal yang tidak perlu dan tidak berdasar hukum. Sebab secara normatif ketentuan Pasal 45 ayat (7) UU ITE 2024 sudah tepat dirumuskan sesuai peruntukannya, dengan hanya merujuk kepada ketentuan Pasal 45 ayat (4) UU ITE 2024. Perumusan norma dalam ketentuan Pasal 45 ayat (6) UU ITE 2024 akan diberlakukan dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4) UU ITE 2024 tidak dapat dibuktikan. Hal ini merupakan bentuk penafsiran hukum secara sistematis, yaitu memahami suatu ketentuan dengan merujuk pada keseluruhan norma yang terkait di dalam undang-undang. Penafsiran sistematis berasumsi bahwa setiap ketentuan dalam suatu undang-undang saling terkait dan membentuk satu sistem hukum yang utuh.
Inti Permasalahan
Adapun, inti permasalahan dari gugatan pemohon adalah, dalam Perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024, pemohon sebagai seorang aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali) merasa dirugikan haknya secara konstitusional untuk bebas menyuarakan kepentingannya atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat; hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat; dan haknya untuk memperoleh kepastian hukum karena rumusan pasal-pasal a quo yang berpotensi menimbulkan berbagai interpretasi dan diskriminasi.
Sedangkan dalam Perkara Nomor 115/PUU-XXII/2024, pemohon menyatakan kerugian konstitusionalnya berupa harus ditahan di Lembaga Pemasyarakatan IIB Padangsidimpuan akibat melontarkan kritik terhadap berbagai penyimpangan di Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan. Pasal-Pasal a quo KUHP dan UU ITE 2024 rentan digunakan memenjarakan warga negara atau masyarakat yang mengkritik terhadap penyelenggaraan pemerintahan di sosial media.(bia/rnm)